Gaung Pembelian Persenjataan RI

Fatso – Sydney

Berikut adalah sebuah tulisan mengenai reaksi pers Australia atas langkah Indonesia dalam melakukan pembelian persenjataan dari Rusia dan adanya politik uang dalam pembelian pesawat tempur Super Hornet.

Berdasarkan jajak pendapat di Australia dari dulu kebanyakan penduduk Australia masih menganggap Indonesia sebagai suatu ancaman dari Utara. Saat krismon yang lalu sebagian orang Australia sudah mulai memperkirakan akan munculnya ribuan manusia perahu dari Indonesia yang datang membanjiri Australia. Kenyataannya hal seperti itu tidak pernah terjadi. Yang banyak datang malahan perahu-perahu yang berisi orang-orang dari TimTeng dan Asia Selatan. Bumi Indonesia yang sangat subur masih mampu memberikan penghidupan bagi penduduknya walaupun keadaan menjadi sulit.

Saat dalam keadaan terpuruk Indonesia hanya bisa membeli 4 buah pesawat tempur Sukhoi, dua buah pesawat Su-27SK dan dua buah pesawat Su-30MK yang datang tanpa persenjataan. Itupun sudah menjadi berita dikoran-koran Australia dimana Australia sendiri sudah memiliki pesawat tempur peran ganda modern F/A-18 Hornet (F/A=Fighter/Attack). Kolega saya yang dulunya menjadi anggota USMC yang ditempatkan di El Toro (CA) dan bertugas untuk merawat pesawat-pesawat Hornet menyatakan bahwa mereka hanya takut pada pesawat Sukhoi Su-27 Flanker. Dia menyaksikan sendiri peragaan udara pesawat Su-27 Flanker di Singapura dan mengatakan bahwa saat itu tak ada satupun pesawat AS yang mampu menandingi kemampuan manuver pesawat tersebut.

Keunggulan yang dimilliki pesawat F/A-18 Hornet hanya ada pada sistem avioniknya dimana versi expor pesawat Sukhoi yang dijual Rusia kemampuan sistem avioniknya juga sudah diturunkan dari versi yang dipakai Rusia. Itu sebabnya India mengganti sistem avionik pesawat Sukhoi mereka dengan sistem avionik dari Perancis dan Israel. Pesawat Sukhoi Su-27 Flanker sendiri menjadi naik daun setelah Victor Georgievich Pugachev mampu mempesona penonton dengan melakukan atraksi udara berupa gerakan patukan ular Kobra pada peragaan udara di Le Bourget, Paris, pada tahun 1989. http://www.youtube.com/watch?v=h7F8XfSLXHY

Jika pesawat Sukhoi Su-27 khusus dirancang dengan tujuan untuk supremasi udara, maka pesawat Sukhoi Su-30 merupakan varian yang khusus dirancang untuk peran ganda seperti halnya yang dimiliki pesawat F-15E Strike Eagle.

Belum lama ini Indonesia kembali menjadi bahan pemberitaan lagi di Australia sehubungan dengan pembelian persenjataan dari Rusia. http://www.smh.com.au/news/world/jitters-as-indonesia-buys-russian-subs/2007/09/04/1188783237164.html

Dimana diberitakan bahwa Indonesia akan membeli dua buah kapal selam dari kelas ‘Kilo’ ditambah 22 helikopter dan 20 tank. Adanya kapal selam ini diperkirakan akan bisa mempersulit gerakan Royal Australian Navy. Walaupun disebut-sebut sebagai kapal selam canggih dan bersuara halus, sebetulnya kapal selam ini bukan produk Rusia (Uni Soviet) yang mutakhir. Sengketa Ambalat rupanya telah menyadarkan ALRI bahwa mereka membutuhkan kapal selam yang bisa diandalkan mengingat Tentera Laut Diraja Malaysia sekarang ini telah memiliki kapal-kapal perang yang jauh lebih modern. Sebentar lagi mereka akan menerima dua kapal selam Scorpene dari Perancis yang telah diberi nama kedua pemimpin akbar mereka.

Tak jelas alasan mengapa Indonesia memilih kapal selam kelas ‘Kilo’ dari Proyek 877EKM Paltus.

Mengapa bukan dipilih kelas ‘Improved Kilo’ dari Proyek 636 yang merupakan pengembangan lebih lanjut dimana telah ditingkatkannya daya generator diesel dan juga dihasilkannya suara baling-baling yang yang lebih halus lagi? Kapal selam dari kelas ‘Improved Kilo’ ini mendapat julukan “The Black Hole” dari US Navy dengan kemampuannya untuk bisa menghilang dari deteksi dan disebut-sebut sebagai salah satu kapal selam diesel bersuara terhalus dunia. Tapi menurut sumber RIA Novosti, Indonesia juga akan membeli dua kapal selam yang lebih canggih tapi berukuran lebih kecil, Amur 950, yang merupakan versi kecil kelas Lada dari Proyek 677. Hugo Chavez dari Venezuela juga tampaknya juga sudah mengincar beberapa kapal selam dari Proyek 636 dan Proyek 677 yang keduanya dilengkapi dengan sistem peluru kendali terpadu CLUB-S. Konon Indonesia membutuhkan hingga 10 buah kapal selam dari Rusia hingga Jepang diberitakan menjadi kuatir dan meminta penjelasan mengapa Indonesia membutuhkan demikian banyak kapal selam.
Dalam tayangan reportase Four Corners yang berjudul “Flying Blind” belum lama ini diberitakan bahwa saat konflik mulai memanas di TimTim pada tahun 1999 RAAF sudah mempersenjatai pesawat-pesawat pembom F-111 di pangkalan udara Tindal yang letaknya berada dibagian Selatan Darwin untuk siap membom pusat komunikasi militer Indonesia yang terletak dipinggiran Jakarta.

Dalam suatu skenario ulang khayalan atas permintaan Four Corners dapat disimpulkan bahwa pesawat-pesawat pembom tua F-111 akan mampu menembus pertahanan udara Indonesia dikarenakan masih primitifnya sistem radar disamping tidak dimilikinya sistem peluru kendali darat ke udara dan sangat terbatasnya jumlah pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia saat itu.

Yang menjadi topik reportase Four Corners kali ini adalah pembelian pesawat-pesawat Super Hornet oleh Australia yang tanpa melalui prosedur dan kajian yang memadai hingga terlihat jelas adanya suatu permainan politik uang. Permainan politik karena orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan semuanya adalah orang-orang dari Partai Liberal yang sekarang berkuasa dimana Boeing yang menjual pesawat Super Hornet dengan pintarnya sudah mengangkat Andrew Peacock yang bekas dedongkot Partai Liberal sebagai pimpinan Boeing Australia.

Dalam suatu skenario khayalan Australia menyerang Jakarta pada tahun 2012 dengan pesawat-pesawat Super Hornet dimana dibutuhkan sebanyak 16 buah pesawat yang terbagi dalam 4 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 4 pesawat. Dengan segala keterbatasannya pesawat Super Hornet hanya mampu membawa 12 buah peluru kendali yang bisa dilepaskan dalam jarak 200 mil dari sasaran. Diperkirakan pesawat-pesawat Sukhoi Su-30 MK2 yang dimiliki Indonesia saat itu yang jumlahnya amat terbatas masih mampu merontokan sekitar 30% pesawat-pesawat Super Hornet sebelum pesawat-pesawat tersebut sempat meluncurkan peluru-peluru kendalinya. Tapi pesawat-pesawat Sukhoi Su-30 MK2 milik Indonesia masih bisa beraksi lebih lanjut dengan merontokan pesawat tanker Australia hingga pesawat-pesawat Super Hornet yang tersisa akan jatuh kehabisan bahan bakar dalam perjalanan pulang. Dengan demikian seluruh pesawat Super Hornet yang dikirimkan semuanya hilang dalam misi tersebut.

Ini suatu skenario yang tidak bisa diterima dan membuktikan bahwa pembelian pesawat Super Hornet tidak bisa memberikan keunggulan udara bagi Australia. Supremasi udara yang selama ini dimiliki Australia akan pudar dalam waktu-waktu mendatang. Adalah suatu ironi membelanjakan $ 6,6 milyar untuk pembelian pesawat-pesawat Super Hornet dimana pemakai lainnya hanyalah US Navy dan pesawat jenis ini pernah mereka tolak sebelumnya. Konon pesawat Sukhoi harganya hanya setengahnya dengan kemampuan dua kali lipat kemampuan pesawat Super Hornet.

Dr Carlo Kopp dari Air Power Australia yang juga tampil dalam tayangan tersebut sebelumnya pada tahun 2003 telah menghasilkan suatu kajian perbandingan antara Sukhoi Su-30MK dengan beberapa jenis pesawat pilihan RAAF seperti F/A-18 HUG, F-35 JSF dan F/A-18E/F (Super Hornet). http://www.ausairpower.net/TE-Flankers-Sept03.pdf

Pesawat Sukhoi khusus dirancang untuk menghabisi pesawat-pesawat tempur AS dari jenis F-15E hingga F16 yang berada pada daerah unjuk kerja kinematis tertentu. Semua jenis pesawat pilihan RAAF tersebut berada dalam daerah unjuk kerja kinematis yang sama hingga pesawat Su-30MK akan mampu merontokan semua jenis pesawat buatan AS tersebut jika pilotnya mampu memanfaatkan keunggulan yang dimiliki pesawat tersebut.

Jadi permainan politik uangpun dengan menyoloknya bisa dilihat terjadi di Australia.

Tayangan “Flying Blind” selama 40 menit dan 25 detik bisa dinikmati dalam format Flash Video ataupun Windows Media. http://www.abc.net.au/4corners/content/2007/s2070484.htm

Bisa disimak juga wawancara yang sangat menarik dengan James P. Stevenson dimana beliau memberi contoh Swedia sebagai negara kecil yang bisa mengembangkan industri pesawat tempurnya dan tidak ketergantungan pada AS dan itu yang seharusnya dilakukan oleh Australia. Swedia memang sebuah negara kecil yang sangat istimewa.

http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=49047&section=92

Tags: ,

2 Responses to “Gaung Pembelian Persenjataan RI”

  1. iwan Says:

    Sebuah analisa yang menarik dan perlu menjadi bahan kajian di Dephan RI dan MAbes TNI, bawasanya Air Power negara tetaangga sudah pada tahap pematangan dengan pengadaan anggaran alutsista yang besar dan modern.
    Perlu kiranya pemerintah berpikir ulang tentang konsep pertahanan ” Diagonal Poros”dimana ancaman dari luar bukan sekedar isu dan nina bobok semata, akan tetapi sudah menjadi hal yang harus segera direalisasikan.

  2. baskoro Says:

    bagus… aku setuju dengan langkah yang diambil Mabes TNI untuk memberi sukhoi…biar Australia..jangan meremehkan negeri kita…hidup TNI

Leave a comment